Salah satu perbuatan nista yang umumnya lebih sering dialami kaum perempuan adalah pelecehan seksual. Hal ini mewajibkan semua perempuan harus selalu waspada dan berhati-hati.
Pelecehan seksual tidak mengenal tempat, waktu, dan siapa sasarannya. Pelakunya bukan saja orang asing, tapi tidak jarang adalah orang-orang terdekat yang sudah lama kenal.
Perempuan berada dalam situasi yang tidak ideal karena adanya budaya ‘victim blaming’. Korban cenderung malah disalahkan karena kegiatannya, pakaiannya, dan pekerjaannya.
Imbauan kepada perempuan agar mengetahui apa saja hak-haknya jika mengalami kekerasan seksual harus lebih aktif. Mungkin hal itu yang ingin disampaikan drakor Trolley.
Drakor Trolley baru tamat masa tayangnya di OTT Netflix. Kisahnya mengedepankan beberapa contoh korban kekerasan seksual dan konklusi dari sikap para korban.
Kasus-kasus kekerasan seksual ini dicemari dengan berbagai kepentingan politik yang berlindung di balik slogan ‘Demi Kepentingan Orang Banyak’ dan tujuan-tujuan mulia lainnya.
Apa saja 5 Aspek Pelecehan Seksual di Drakor Trolley tentang kekerasan seksual dan cara menghadapinya? Simak artikel ini yuk, gengs!
Ini dia 5 Aspek Pelecehan Seksual di Drakor Trolley!
Latar Belakang
Trolley Dilemma adalah sebuah perumpamaan, jika ada kereta yang lewat dengan rem rusak menerjang satu jalur, maka ia akan menabrak lima orang.
Sang kondektur punya pilihan untuk berganti jalur, tapi jika ia memilih jalur baru, ada satu orang yang bakal tewas.
Maka, jalur mana yang akan ia tempuh, karena kedua jalur tetap akan memakan korban.
Perumpamaan ini adalah inti dari sosok Hye-joo, yang merupakan korban pelecehan seksual. Ia melarikan diri dari masa lalunya dan menikah dengan seorang politisi Jung-doo.
Jung-doo adalah politikus super ambisius dengan reputasi yang luar biasa bersih dan terpercaya. Hal ini berubah waktu anak mereka, Ji-hoon, ditemukan tewas dengan narkoba di sakunya.
Perlakuan Terhadap Korban VS Pelaku
Korban perkosaan dibebani dengan adanya rape culture, yang berat sebelah terhadap korban. Penggambarannya cukup menonjol dalam drakor ini.
Korbannya bisa dari lapisan masyarakat mana saja, profesi mana saja, bahkan penampilan fisik yang biasa saja. Hal itu tidak mengurungkan niat pelaku untuk melakukan kekerasan seksual.
Apalagi, dalam drakor ini, pelakunya adalah tokoh politikus yang bereputasi baik tanpa cela. Ia juga seorang suami dan ayah yang selama ini dianggap sempurna.
Sehingga, publik pun sulit percaya jika ia mampu melakukan perlakuan keji tersebut. Korban malah menerima intimidasi dan penghakiman lebih lanjut.
Ada korban yang bahkan terpaksa menyimpan trauma itu selama bertahun-tahun, bahkan terpaksa tinggal serumah dengan pelakunya.
Lagi-lagi, korban yang harus menanggung penderitaan dan ketakutan, hanya karena tetap ada yang ingin menolerir rape culture tersebut.
Penghakiman Masyarakat Terhadap Kasus Pelecehan Seksual
Drakor Trolley menggambarkan sikap dan reaksi dari beberapa korban kekerasan seksual yang berbeda. Ada yang memutuskan untuk menyimpannya, ada juga yang akhirnya buka mulut.
Keberanian korban untuk mengungkapkan kebenaran juga kerap malah berbalik merugikan korban sendiri. Ibaratnya, korban ketiban kemalangan berkali-kali.
Padahal, secara psikologis, korban pelecehan seksual sudah sangat menderita. Bukan hanya sakit fisik, tapi kondisi kejiwaannya pasti terguncang.
Rasa syok, malu, trauma pasti melanda korban. Bahkan mungkin dibarengi cedera fisik, penyakit kelamin, dan kehamilan yang tidak diinginkan bisa juga terhadi.
Karena budaya ‘victim blaming’ tadi, korban malah takut untuk melapor. Karena umumnya korban takut disalahkan, diancam oleh pelaku, atau takut pihak aparat tidak membela mereka.
Proses hukum yang berbelit-belit, cenderung tambah mempermalukan dan menekan korban, memakan waktu lama. Seringkali hasilnya juga tidak adil bagi korban.
Politik Yang Memperkeruh Suasana
Ada banyak pelanggaran hukum yang terpaksa diterima, bahkan dinormalisasi, atas nama politik. Politik dalam hal ini berperan besar dalam memperburuk keadaan korban kekerasan seksual.
Ambisi politik bisa mengubah niat baik yang menjadi landasan awal, dalam sekejab menjadi perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain.
Bohong menjadi kewajaran, karena selalu ditangguhkan dengan janji bahwa kesalahan akan diperbaiki di masa depan. Padahal, kesalahan-kesalahannya semakin menumpuk.
Kotornya permainan politik kelas atas memperkeruh kondisi korban pelecehan seksual karena kepentingan mereka biasanya terkubur di bawah kepentingan-kepentingan lain.
Apa yang bisa dilihat di awal ternyata tidak sepenuhnya nyata. Ini yang harus diwaspadai oleh kita semua terhadap orang-orang yang kita sayangi.
Banyak rahasia dan kesalahan yang dikubur rapat-rapat dengan kebohongan, lalu dilegitimasi dengan alasan demi kebaikan dan kepentingan orang banyak.
Keberanian Korban Untuk Berbicara
Walaupun ada kemungkinan bahwa korban kekerasan seksual tetap menerima diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil, mereka tetap harus berani melawan.
Jika tidak, hal itu akan semakin dinormalisasi yang akan merugikan lebih banyak korban di masa depan. Jika para korban bersatu, maka intimidasi pun tidak bisa mengentikan mereka.
Untuk mengubah budaya yang menolerir perilaku pelecehan seksual, kita harus intensif mengedukasi perempuan tentang hak-hak nya sebagai manusia dan warga negara.
Supaya tidak ada lagi korban yang terjebak pada situasi yang sama. Membuka kasus kekerasan seksual, mengungkap pelaku, dan menuntut keadilan harus dilakukan korban.
Keberanian korban untuk mengungkapkan kejahatan yang menimpa diri mereka adalah kunci bisa diberlakukannya hukuman yang setimpal bagi pelaku.
Jika kita ingin menghentikan rape culture dan victim blaming tadi, masyarakat dan aparat hukum harus mendukung dan melindungi para korban.
Kesimpulan
Trolley merupakan drakor bergenre drama yang memiliki naskah lumayan berat. Tapi kisah yang cukup kelam ini berhasil dieksekusi dengan baik.
Penceritaan berhasil menjaga tempo pas, yang membuat rasa penasaran penonton terus terjaga hingga akhir.
Performa yang brilian dari semua cast, terutama adu akting dari aktris Kim Hyun-joo dan aktor Park Hee-soon yang punya chemistry sangat kuat, menjadikan tokoh-tokoh di dalamnya realistis.
Pesan yang dicoba sampaikan cukup jelas, perempuan harus berani dan tegas dalam menolak, menentang, dan melawan segala bentuk kekerasan seksual.