Beberapa film tentang masa remaja mulai marak kembali diproduksi di tanah air. Dengan adanya platform OTT, sineas muda Indonesia semakin kreatif untuk berkarya.
Tercatat ada beberapa judul film dengan tema senada yang menuai sukses. Dua Garis Biru, Dilan 1991, Posesif, dan Dear Nathan adalah beberapa contoh.
Dear David tampil dengan tema yang agak ‘berani’. Film ini disutradarai oleh Lucky Kuswandi dan berkisah tentang murid teladan dan cerdas, Laras (Shenina Cinnamon), yang naksir dengan temannya, David (Emir Mahira).
Laras diam-diam menulis fantasinya yang erotis tentang David di platform buku online. Konten Laras lalu disebarkan secara ilegal oleh temannya sendiri.
Namun, yang difitnah menjadi penulisnya justru teman Laras, Dilla (Caitlin North Lewis).
David sendiri sangat dipermalukan, karena ia menjadi bulan-bulanan ejekan bahkan pelecehan teman-temannya sendiri.
Dear David dirilis di platform OTT Netflix, sehingga film ini memiliki ekstra ruang untuk tampil apa adanya dan mengusung tema dewasa tanpa dibatasi sensor.
Berikut ini, Sushi sudah mengupas 5 Pelajaran dari film Dear David yang bisa kalian petik. Bukan hanya untuk para remaja, tapi juga orang tua dan para guru.
Apa saja 5 pelajaran dari film Dear David tersebut? Kita baca yuk ulasannya, gengs!
Pubertas dan Seksualitas Remaja
Istilah masa remaja adalah masa yang paling indah sebenarnya dipertanyakan. Karena masa remaja juga merupakan masa tersulit bagi yang menjalaninya.
Masa puber menyebabkan perubahan fisik yang disebabkan hormon, menjadikan remaja kewalahan. Jerawat, organ seksual yang mulai tumbuh dan bereaksi, juga mood yang naik turun.
Belum lagi dorongan seksual mereka yang sangat baru dan belum terkendali. Mereka tentu masih gamang untuk meyikapinya secara bijak.
Semua ini dikupas secara menyeluruh walau tidak berlebihan dalam Dear David. Pesan kepada para guru dan orang tua, ada baiknya agar lebih cepat tanggap dalam periode ini.
Sebaiknya, remaja dipersiapkan dengan informasi yang benar tentang seksualitas diri mereka. Sehingga secara mental mereka sudah siap dengan bekal informasi yang benar.
Selain itu, dinamika antara remaja yang baru mulai mengeksplorasi seksualitas mereka sebaiknya diimbangi dengan sikap terbuka, ramah, dan tidak menghakimi yang datang dari orang tua dan guru.
Orang tua dan guru seharusnya menjadi rekanan ternyaman dan terdekat bagi para remaja untuk mempelajari pengetahuan tentang seks.
Hal ini bisa mencegah mereka belajar dari oknum tidak bertanggung jawab yang bisa membahayakan diri mereka.
Objektif Lembaga Pendidikan Yang Tidak Tepat
Latar kisah film Dear David adalah salah satu sekolah menengah atas swasta yang cukup disiplin dan keras. Para guru berpegang teguh pada ajaran agama dan norma-norma masyarakat yang kolot.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat pendidikan dan menjadi pembimbing tepat bagi anak didiknya ternyata masih memberlakukan diskriminasi dan penghakiman tidak sehat.
Penting untuk diingat, bahwa guru adalah orang tua para murid di sekolah. Mereka seharusnya tidak terburu-buru menilai buruk siswa dan siswi mereka.
Guru-guru juga seharusnya tidak melulu memusatkan perhatian mereka pada reputasi dan ranking sekolah semata. Mereka juga harus memperhatikan kesejahteraan para murid.
Tanggap terhadap isu perundungan, pelecehan, fitnah, dan beragam pelanggaran lain adalah tugas utama para guru juga, selain sebagai pendidik.
Azas praduga tidak bersalah seharusnya tetap dipegang teguh. Mereka harus mau mendengarkan alasan dan pembelaan anak didik mereka dengan adil dan pikiran terbuka.
Keadilan terhadap remaja yang melakukan pelanggaran aturan sekolah juga harus ditegakkan. Bukan hanya pembuat konten yang harusnya dikenai sanksi, tapi juga yang menyebarkan isinya.
Karena sebenarnya, konten itu ditulis untuk konsumsi pribadi dan bukan untuk umum. Tidak seharusnya sesuatu yang bersifat privasi dibeberkan ke publik tanpa izin pemiliknya.
Peringatan ‘Mental Health’
Selentingan komentar yang mengatakan bahwa remaja zaman sekarang lebih ‘lemah’ dan ‘cengeng’ sering terdengar. Hal itu membuat orang tua dan para guru sering meremehkan keluhan remaja.
Padahal, di beberapa kasus, kondisi mental health para remaja memang berbahaya jika tidak ditangani secara tepat.
Remaja bisa mengalami depresi, panic attack/anxiety attack, yang ditakutkan berujung dengan hilangnya kemauan hidup dan memilih untuk menyakiti diri, bahkan bunuh diri.
Jika seorang remaja mengalami perundungan di sekolah, kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian di rumah, bisa saja hal itu akan berdampak pada kesehatan mentalnya.
Yang dikhawatirkan, remaja dengan masalah perundungan, depresi, dan panic attack tidak memiliki tempat untuk berbagi cerita dan curhat.
Hal ini bisa berakibat fatal jika orang tua atau guru tidak tanggap dan terlambat bertindak. Penting bagi orang tua dan guru untuk jeli dan menandai jika ada gelagat mental health pada anak-anaknya.
Peran Krusial Orang Tua
Pentingnya komunikasi antara orang tua dan anak sering kalah prioritas dengan ambisi dan keinginan orang tua. Walau orang tua sebenarnya hanya menginginkan yang terbaik bagi anaknya.
Sayang, keinginan ini kadang lupa didiskusikan dengan anak yang bersangkutan. Karena belum tentu anak itu menginginkan hal yang sama, atau mampu melakukannya.
Inilah mengapa komunikasi dan keterbukaan antara orang tua dan anak sangat penting. Terutama di masa pubertas yang dianggap menjadikan anak-anak bertingkah sulit dan emosional.
Bimbingan yang tepat dan diskusi-diskusi santai tapi sehat ada baiknya rutin dilakukan oleh orang tua. Walau sibuk, orang tua hendaknya meluangkan quality time yang cukup untuk anaknya.
Orang tua juga harus memiliki sikap tidak menghakimi jika mendengar permasalahan anak-anak remajanya. Berikan waktu agar mereka bisa menyampaikan masalah dengan tuntas.
Pentingnya sikap orang tua yang memiliki pikiran terbuka dan fleksibel dengan perkembangan zaman dan budaya akan menolong anak remaja tumbuh lebih sehat dan lebih bahagia.
Rasa Ingin Tahu Sebagai Pemicu
Jangan pernah langsung menghakimi seorang remaja berpikiran kotor, mesum, dan dicap sebagai anak yang nakal. Banyak hal dalam proses pubertas remaja yang memicu rasa ingin tahu mereka.
Rasa ingin tahu sebenarnya sehat dan sangat normal. Sebaiknya, rasa ingin tahu ini tidak dimatikan hanya karena alasan tidak sesuai dengan norma atau ajaran agama.
Eksplorasi seksual remaja terhadap diri sendiri butuh dibimbing secara tepat. Karena, jika tidak maka bisa menjadi masalah yang melebar ke mana-mana.
Sangat disayangkan, justru topik ini selalu menjadi momok bagi orang tua dan guru karena kebudayaan kita masih menganggap hal ini tabu.
Pengertian tentang seks dan seksualitas diri menjadi kabur, sering salah dipahami dan dampaknya malahburuk karena remaja yang kurang informasi menyikapinya dengan cara yang merugikan diri sendiri.
Misalnya, melakukan seks bebas, melakukan hubungan seksual tanpa pengaman dan mengakibatkan kehamilan dini atau terkena penyakit kelamin.
Hal yang sebenarnya bisa dihindari jika remaja mendapatkan pendidikan seks yang komprehensif dan jelas. Norma dan agama adalah ilmu yang terpisah dari pengetahuan tentang seks.
Karena itu, komunikasi sehat dan terbuka antara remaja dan orang tuanya, bahkan guru-gurunya memegang peranan yang sangat penting.