Martin Scorsese mengatakan, “Hargai sinema. Jika Anda bisa duduk selama lima jam di depan televisi, berarti Anda juga bisa duduk selama tiga setengah jam di dalam bioskop.”
Ucapan ini terlontar dari mulut ‘Marty’ setelah banyak yang memprotes durasi film terbarunya ini. Sedangkan bagi cinephile sejati, biasanya menganggap 3.5 jam itu tidak ada apa-apanya.
Setelah membuat The Irishman yang dirilis di Netflix dan bioskop secara terbatas, Scorsese tidak ragu untuk membuat film lain dengan durasi panjang. The Irishman sendiri memiliki durasi empat jam.
Scorsese memang salah satu sutradara yang paling dihormati di seluruh dunia. Bukan hanya dalam industri perfilman tapi juga dihormati oleh pelaku bentuk seni lainnya.
Kontribusi Scorsese terhadap perfilman Indonesia juga tidak main-main. Oleh tangannya sendiri, ia merestorasi film klasik Indonesia, ‘Lewat Djam Malam’ yang lalu dirilis dalam bentuk bluray.
Film Killers of the Flower Moon ini juga menandai kerja sama berulang Scorsese dengan dua aktor peraih Oscar. Kerja sama ke enam dengan Leonardo Di Caprio dan ke sepuluh dengan Robert de Niro.
Sebelumnya, DiCaprio sudah bekerja sama dengan Scorsese antara lain dalam film Gangs of New York, The Aviator, The Departed, Shutter Island dan The Wolf of Wall Street.
Sedangkan De Niro tampil dalam film-film terbaik Scorsese antara lain Goodfellas, Taxi Driver, Casino, Raging Bull, New York New York, The King of Comedy, Cape Fear, dan Mean Street.
Mari kita simak ulasan Sushi tentang film Killers of the Flower Moon berikut ini!
Sinopsis
Killers of the Flower Moon ini diadaptasi dari buku non-fiksi berjudul sama karya David Grann. Di awal tahun 1920-an, ditemukan minyak di tanah suku Amerika asli, Osage.
Hal ini membuat mereka memiliki harta berlimpah. Daerah tersebut menjadi incaran para pengusaha minyak lain untuk membuka perusahaan.
Karena suku Osage tidak ahli dalam mengelola keuangan, mereka menunjuk seorang pengelola keuangan. Selain itu, secara tradisi, kekayaan keluarga diwariskan kepada anak perempuan.
Banyak orang kulit putih memilih menikah dengan perempuan suku Osage demi warisan tersebut. Hal itu dilakukan Hale (Robert DeNiro). Hale disukai oleh para tetua Osage karena dianggap sosok yang baik.
Ketika keponakan Hale, Ernest, datang, ia menjalin cinta dengan seorang gadis Osage bernama Mollie (Lily Gladstone). Mereka lalu menikah.
Hale menunjukkan wajah aslinya dengan mendorong Ernest untuk mengamankan warisannya dari keluarga Mollie. Keluarga Mollie dan penduduk asli Osage lainnya satu per satu meninggal tanpa alasan yang jelas.
Karena melapor ke polisi korup di Osage tidak berguna, maka Mollie pergi ke Washington dan menemui presiden langsung untuk meminta bantuan.
Washington DC mengirim perwakilan khusus mereka (yang merupakan cikal bakal FBI nanti) untuk melakukan penyelidikan. Apa yang terjadi? Siapa dalang yang berada di balik semua ini?
Marty, Spesialis Gangster dan Crime
Kecintaan Martin Scorsese terhadap genre gangster dan crime thriller membuat film-film karyanya serupa. Walau demikian, Scorsese tetap bisa menampilkan gaya penyutradaraan yang prima.
Di usianya yang sudah 80 tahun ini, Scorsese tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Ia bekerja sama dengan Eli Roth, penulis, sutradara dan produser muda yang biasa menggarap film horor, sebagai penulis naskah.
Hasilnya, Killers of the Flower Moon menjadi film crime drama yang kental dengan intrik dan budaya. Betapa penduduk asli Amerika terjajah dan tertindas di negrinya sendiri tergambar lugas.
Scorsese berada di dalam elemennya, jenis kisah yang paling ia kuasai. Reputasinya selama setengah abad berkarir di dunia perfilman memang tidak perlu diragukan lagi.
Panjang Tapi Enak Diikuti
Durasi sekitar dua ratus menit ini bisa mengancam terpicunya rasa bosan jika tidak digarap dengan ciamik. Untung, gaya penceritaan film ini sangat mulus dan enak diikuti.
Latar belakang keluarga dan konflik yang dibangun secara perlahan memberikan film ini fondasi yang kuat. Kompleksitas para karakternya juga ditunjukkan dengan rapi.
Apalagi set dan desain produksi Amerika tahun 1920-an yang begitu detail dan megah. Tidak heran biaya produksi film ini mencapai USD 200 juta.
Misteri dan konfliknya juga memiliki tempo yang sangat terjaga hingga klimaks. Sejak FBI turun tangan, tempo cerita meningkat dan ketegangan terus dibangun dengan baik.
Pemaparan Scorsese terhadap detail-detail sejarah juga begitu lengkap. Film ini menjadi perpaduan antara drama thriller dengan dokumenter sejarah tanpa rasa bosan.
Performa Brilian Seluruh Cast
Leonardo DiCaprio sekali lagi membuktikan bahwa dirinya sudah pantas disejajarkan dengan para aktor watak Hollywood lainnya. Ia memberikan performa yang kompleks dan meyakinkan.
Bintang kesayangan Martin Scorsese yang lain, Robert DeNiro, tidak perlu diragukan lagi kualitasnya. Aktor legendaris ini masih memberikan taji yang tajam dan penampilan yang tetap prima.
Duet kedua aktor ini merupakan reuni ketiga mereka setelah tampil bersama di This Boy’s Life dan Marvin’s Room. Chemistry antara keduanya sangat kental dan emosinya terasa hingga keluar layar.
Martin Scorsese beruntung bisa menyandingkan dua aktor kenamaan ini sebagai paman dan keponakan. Film ini menuntut keahlian akting dengan jangkauan yang luas.
Untuk menampilkan kompleksitas kedua karakter utama dalam film ini jelas tidak mudah. Area abu-abu yang dimiliki tiap karakter hanya bisa dilakukan oleh kemampuan akting kelas tinggi.
Lily Gladstone yang berperan sebagai Mollie patut diberikan catatan khusus. Penampilan briliannya tampak wajar, natural, mengalir secara alamiah. Emosi yang ia berikan benar-benar nyata.
Pesan Nyata Tanpa Penghakiman
Scorsese berhasil menampilkan inti dari kisah yang ditulis dalam buku karya David Grann, yaitu tentang pahitnya sejarah penduduk asli Amerika. Sebuah sejarah kelam penuh luka yang nyaris terlupakan.
Killers of the Flower Moon berhasil memberikan gambaran betapa rakusnya pendatang kulit putih yang ingin menguras habis kekayaan milik penduduk Amerika asli, tanpa kesan menghakimi.
Penderitaan dan perjuangan penduduk Amerika asli yang sarat dengan duka dan penderitaan, diceritakan apa adanya. Diberi bumbu drama dan romance tanpa mengurangi pesan yang tersirat.
Di akhir kisah, kita semua diajak untuk merenung kembali. Bahwa penjajahan, di mana pun terjadinya, siapa pun pelakunya, adalah wujud dari keserakahan dan kotornya hati manusia.