Review Escape from Mogadishu – Film ini didaulat menjadi film dengan perolehan box office terbesar di Korea Selatan sepanjang tahun 2021 ini. Film tersukses di Korea Selatan pada 2021 ini, yang sarat dengan Ketegangan dan sentuhan hati nurani.
Film ini mengalahkan beberapa blockbuster Hollywood seperti Black Widow, The Suicide Squad, Fast and Furious 9, dan A Quiet Place Part II.
Dengan biaya pembuatan yang mencapai 24 Milyar ₩on, Escape from Mogadishu telah meraih pendapatan kotor sebesar 27.62 juta dolar dan lebih dari 3.3 juta penonton.
Secara keseluruhan, modal ini tidak sia-sia karena hasil yang diberikan benar-benar maksimal.
Review Escape from Mogadishu ini akan menggambarkan sajian film yang sarat dengan ketegangan, selipan humor, sekaligus sentuhan rasa kemanusiaan yang begitu membekas di hati.
Escape from Mogadishu masuk dalam deretan film-film pertama yang diputar pasca berakhirnya PPKM ketat yang diberlakukan pemerintah Indonesia, dalam rangka mengendalikan angka penularan virus Covid19 di mana bioskop-bioskop bisa buka kembali.
Sebelum menonton filmnya, yuk kita simak dulu review Escape from Mogadishu berikut ini, gaes!
Berdasarkan Kejadian Nyata Aidid VS Barre
Diangkat dari kejadian nyata di Mogadishu Somalia pada tahun 1990 di mana terjadi konflik bersenjata.
Konflik ini terjadi antara tentara pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal Aidid melawan pemerintahan Somalia di bawah Presiden Barre yang dianggap rakyat Somalia sebagai diktator korup.
Sedikit banyak, film ini akan mengingatkan para penggemar film akan Black Hawk Down, film perang sukses yang disutradarai Ridley Scott di tahun 2001 silam, walau memiliki jeda waktu kejadian yang berbeda.
Escape from Mogadishu dibuka dengan penjelasan mengapa para diplomat Korea Selatan dikirim ke Somalia pada tahun 1987.
Hal ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara Afrika yang jumlahya saat itu paling banyak, untuk memberikan dukungan bagi Korea Selatan yang saat itu belum menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Satu hal yang menonjol dari film ini adalah desain produksi yang sangat rapi di semua bagian.
Latar, busana, kendaraan, dan perlengkapan yang digunakan di sepanjang film benar-benar melempar kita kembali ke tahun 1990, di mana Mogadishu saat itu masih merupakan kota yang sangat terbelakang dan mengancam.
Tidak heran mengapa biaya pembuatan film ini cukup besar. Detil-detil kecil mulai dari perabotan kantor kedutaan hingga riasan dan gaya rambut para karakternya yang khas 1990an sangat diperhatikan.
Duta besar Korea Selatan saat itu, Han Shin-sung (diperankan aktor Kim Yun-seok) dan konsul Kang Dae-jin (diperankan aktor Jo In sung) diceritakan tengah berjuang membentuk hubungan kerja sama yang baik dengan Presiden Barre.
Usaha ini sedikit tersendat-sendat saat mereka harus bersaing memenangkan perhatian dan berbagai keuntungan diplomasi dengan para diplomat dari Korea Utara.
Duta besar Korea Utara, Rim Yong-su (diperankan oleh aktor Heo Joon-ho) kerap kali adu mulut dengan duta besar Han setiap mereka bertemu.
Hal ini berubah saat pecahnya perang sipil dan mereka semuanya terjebak di Mogadishu, tanpa bantuan, jalur komunikasi, fasilitas, dan jaminan keamanan.
Semua berusaha menyelamatkan diri dan gentingnya keadaan memaksa semua pihak mengesampingkan ego dan kepentingan masing-masing demi mencapai tujuan bersama, yaitu keluar dari Mogadishu dengan selamat.
Karena tidak akan ada yang bisa berhasil keluar dari sana, jika tidak mau bekerja sama.
Eskalasi Ketegangan dengan Tempo Terjaga
Saat peperangan pecah, uang, koneksi, dan kekebalan diplomatik pun menghilang. Di sini, yang dulu kawan bisa menjadi lawan, begitu juga sebaliknya.
Akibat jalur komunikasi yang terputus, sebagian besar kedutaan dan para karyawannya terjebak di dalam kedutaan masing-masing tanpa jalan keluar.
Kerusuhan merebak dan ancaman mulai tidak pandang bulu. Para tentara pemberontak mulai menyisir kedutaan-kedutaan yang mereka anggap selama ini mendukung pemerintahan presiden Barre dan menyerangnya.
Otomatis, hampir semua kedutaan yang berada di Mogadishu tidak ada yang aman. Dalam waktu beberapa hari, keadaan semakin kacau dan berbahaya dan para diplomat Korea Selatan harus segera memikirkan strategi untuk pergi dari sana.
Sutradara Ryoo Seung-wan dengan lihai memaksimalkan pergerakan kamera dan sinematografi yang biasa diambil secara melebar, saat meliput pergerakan para tentara dan kerusuhan yang terjadi di jalan raya dan pasar-pasar.
Penonton seolah sedang berada di tengah-tengah kerusuhan itu akibat -wide-angle yang digunakan kamera tadi.
Ryoo berhasil menggambarkan betapa tipisnya antara situasi damai dan konflik dengan adegan-adegan, di mana para tentara pemberontak memukuli dan menghajar rakyat tanpa ampun diiringi seruan perdamaian dari pengeras suara yang diputar oleh para diplomat Korea Selatan–sebagai usaha terakhir mereka agar mereka tidak diserang.
Atau adegan mencekam dengan latar suara azan saat iring-iringan mobil melewati baris demi baris pasukan pemberontak yang sedang menunaikan salat, jeda beberapa menit untuk beristirahat, memberikan peluang bagi mereka yang hendak melarikan diri untuk mulai lebih awal, sebelum mereka memulai pertempuran kembali.
Tempo cerita semakin naik saat para tentara pemberontak berhasil mengambil alih kedutaan besar Korea Utara dan mengusir para diplomat dan keluarganya, yang juga memiliki anak-anak. Duta besar Rim harus bertindak cepat dan memikirkan keselamatan keluarga dan staffnya.
Sisi drama film ini mulai menguat saat duta besar Han diperlihatkan tidak mengikuti gengsi dan saran dari anak buahnya untuk membiarkan rombongan kedutaan Korea Utara menjadi sasaran tembak di luar gedung kedutaan mereka.
Mereka semua diberikan perlindungan di dalam kedutaan besar Korea Selatan yang masih relatif aman, walau berbagai kecanggungan dan kesalahpahaman, terutama antara konsul Korea Selatan Kang dan konsul Korea Utara Tae Joon-gi (diperankan aktor Koo Kyo-hwan) mewarnai malam yang mereka habiskan bersama-sama di bangunan tersebut.
Walau demikian, isyarat-isyarat kecil dalam adegan makan malam, adegan obrolan netral antara kedua duta besar dan adegan membagi obat nyamuk menjadi penanda telah berevolusinya hubungan kedua negara di saat krisis ini.
Tanpa banyak membuang waktu, plot berkembang dan berpusat pada proses gabungan para diplomat kedua negara ini dalam mencari bantuan. Di sini, penceritaan Ryoo Seung-wan tetap memasukkan aspek-aspek tenggang rasa dan bahkan kerja sama yang efisien di antara kedua negara.
Kerja sama tanpa apriori itu membuahkan hasil. Mereka berhasil mendapatkan tempat di pesawat palang merah kedutaan Italia dan harus segera berangkat ke bandar udara. Akan tetapi, rute yang ditempuh penuh bahaya karena kekuatan tentara pemberontak semakin meluas.
Adegan-adegannya semakin menegangkan dan mencekam, tapi tetap diberikan sentuhan humor di sana-sini, seperti saat mereka memasang pengaman di mobil-mobil yang akan mereka gunakan menuju kedutaan Italia.
Selain kocak, ada atmosfer kekompakan yang kental antara Selatan dan Utara di sana, walau dilakukan tanpa banyak bercakap-cakap dan sikap yang tetap dingin.
Adegan kejar-kejaran yang menjadi adegan paling keren di film ini juga sangat menegangkan, memiliki perhitungan dan koreografi yang rapi sekali, sekaligus memberikan beberapa momen heroik yang membuat penonton bersimpati, bahkan terhadap karakter yang tidak simpatik sekalipun.
Penampilan Akting Maksimal Para Aktor Watak
Duet aktor watak senior Kim Yun-seok sebagai duta besar Han dan Heo Joon-ho sebagai duta besar Rim adalah denyut nadi kisah film ini. Sungguh sebuah kepuasan sendiri melihat kedua aktor hebat ini adu akting di layar lebar.
Kim Yun-seok memang dikenal sebagai aktor senior andalan yang sudah tampil di berbagai film berkelas. Penampilan terbaiknya bisa dinikmati di film The Thieves, 1987 When the Day Comes, The Priests, The Chaser, The Yellow Sea, dan Hwayi: A Monster Boy.
Sedangkan aktor Heo Joon-ho juga bisa dibilang adalah aktor watak andalan para sutradara dengan berbagai karakter beragam yang pernah ia perankan di Silmido, The Pirates, drakor Jumong, Kingdom dan Designated Survivor: 30 Days.
Keduanya berhasil menampilkan sosok yang awalnya terlihat saling curiga, penuh prasangka, dengan aroma keangkuhan yang tebal, lalu secara bertahap satu per satu pembungkus itu mereka lepaskan demi tercapainya tujuan bersama.
Lapisan-lapisan ego, kepentingan masing-masing, dendam konflik masa lalu, dan kebencian kolektif yang sudah tertanam dalam di antara kedua negara bersaudara ini akhirnya luluh dan runtuh seiring menguatnya rasa persaudaraan dan kemanusiaan yang timbul dalam konflik.
Akhirnya, kedua karakter ini muncul dengan wajah baru, dua orang dengan sikap dan kepribadian yang kuat, idealisme yang kokoh, serta sikap dan kedewasaan yang simpatik.
Pertanyaan mengapa mereka bisa menjadi pemimpin yang disegani keluarga dan anak buah mereka terjawab sudah.
Karakter konsul Kang dari selatan dan konsul Tae dari utara juga menarik untuk disimak.
Aktor Jo In-sung sebagai Kang yang awalnya terlihat santai dan agak perlente berhasil menampilkan sisinya yang ternyata sangat berani dan bisa dibilang jagoan.
Hal yang sama ditampilkan aktor Koo Kyo-hwan, yang dari awal terlihat galak dan meledak-ledak, tapi lalu bisa menjadi tumpuan saat proses penyelamatan.
Aktor Jo In-sung sudah lama tidak muncul, baik di layar lebar maupun di layar kaca. Film ini menjadi comebacknya setelah terakhir tampil di film The Great Battle pada tahun 2018.
Aktor tampan yang satu ini bisa dinikmati performanya di film The Classic, The King, A Frozen Flower, drakor It’s OK That’s Love, What Happened in Bali, That Winter the Wind Blows, dan Dear My Friends.
Sementara aktor muda berbakat Koo Kyo-hwan, yang belum lama ini tampil gemilang dan mencuri perhatian di drakor Netflix D.P (Deserter Pursuer) juga pernah berperan di drakor Kingdom dan sekuel Train to Busan, Peninsula.
Karakter-karakter pendukung lain seperti aktor Jeong Man-sik sebagai sekretaris konsulat Korea Selatan dan aktris Kim So-jin sebagai istri duta besar Han memberikan dukungan peran yang solid dan menjadikan gabungan para pemain ini menjadi kuat.
Selain ketegangan dalam suasana mencekam yang terus menerus nyaris tanpa jeda, film ini juga tetap mengedepankan sisi kemanusiaan khas Korea Selatan.
Akhir perjalanan mereka digambarkan begitu menyentuh dan membuat miris. Sebuah akhir yang pahit getir, tapi harus dijalani dengan kepala tegak.
Penutup
Escape from Mogadishu menawarkan sesuatu yang baru dari kisah nyata konflik perang saudara Somalia yang berlangsung lama tersebut.
Tanpa harus keluar dari genre yang dijanjikan yaitu political thriller dan action, Escape from Mogadishu juga merupakan film drama yang kuat dan memiliki hati.
Pada akhirnya, belas kasihan, rasa persaudaraan, persahabatan dan empati lah yang akan menang.
Dengan sederhana dan tanpa dramatisasi berlebihan, kisah ini menunjukkan kepada penonton betapa hangatnya kemanusiaan yang mampu menyatukan semua perbedaan, sekaligus dinginnya kebencian yang dengan tajam melibas semuanya.
Di tengah-tengah teror dan rasa takut, semua gengsi, prasangka, ego, sifat mau menang sendiri atau perilaku oportunis akhirnya akan dikalahkan oleh kekuatan terbesar yang dimiliki manusia, yaitu hati nurani.
Escape from Mogadishu sedang tayang di jaringan bioskop CGV!