Review film Wonder Woman 1984 (2021) – Hai gengs! Di saat menjalani masa PPKM yang tak kunjung usai, rasanya nggak ada salahnya ya kalau kita menonton film Wonder Woman 1984 lagi.
Film Wonder Woman 1984 kembali disutradarai oleh Patty Jenkins, dan berhasil memberikan angin segar di tengah pandemi.
Wonder Woman 1984 mendapatkan reaksi yang beragam dari penonton awam sampai kritikus film. Sushi sendiri termasuk yang sangat puas loh, dan menikmati apa yang tersaji di WW84; entah dari segi visual, kekuatan cerita, karakter favorit, dan tak lupa pesan moral dari film ini.
Lalu kira-kira apa sih sisi menarik dari salah satu anggota Justice League ini? Selengkapnya bisa kamu baca dalam review film Wonder Woman 1984 hanya di sushi.id!
Diana di Themyschira
Banyak hal menarik yang saya temukan hingga dibuat kagum dengan pengemasan film ini. Salah satunya adalah pembukaan film ini yang dimulai dari pulau Themyscira, dimana para Amazonian sedang menyelenggarakan sebuah acara besar (sebut saja ‘Olimpiade Asteria’) saat Diana masih kecil.
Ciri khas dari Wonder Woman adalah suguhan visual Amazonian yang amat lincah dan terampil memainkan senjata. Dengan iringan soundtrack baru berjudul ‘Game’ dan ‘Is She With You’ dari Hans Zimmer yang diaransemen ulang, tentunya membuat degup jantung terasa dipacu dengan semangat.
Dari Olimpiade Asteria, saya menangkap watak Diana yang cerdas namun mengabaikan proses yang harus ia lalui–bahkan terlalu sering melihat ke belakang daripada fokus pada dirinya sendiri. Terlihat ketika Diana kecil marah pada Anthiope, sisi egoisnya mengingatkan kita bahwa Diana masih memiliki sisi lain dirinya sebagai manusia.
Dari peristiwa ini pun akhirnya akan memengaruhi sikap Diana di masa dewasanya dan bagaimana ia menghadapi watak dunia modern.
Dreamstone sebagai pengabul keinginan

Bagi para pembaca yang berselancar di facebook, tentunya tidak asing dengan gambar peri keberuntungan di atas bukan?
“Peri” yang konon terbuat dari kulit asli dan diproduksi oleh seniman Rusia ini, dipercaya membawa keajaiban ketika kita melakukan make a wish dalam hati dan membagikannya di beranda atau story kita.
Apakah itu berhasil?
Jujur saja, saya dan beberapa sahabat sudah mencobanya hampir enam kali dengan keinginan yang berbeda, dan semuanya terwujud.
Begitu pula dengan Dreamstone dalam film WW84, fungsinya tidak jauh dari gambar peri tersebut. Bedanya, benda ini meminta ‘tumbal’ yang tidak lain adalah sesuatu yang paling berharga dari dalam diri yang bersangkutan. Dreamstone sendiri divisualisasikan dalam wujud Citrine, yang akhirnya ‘hidup’ dengan tubuh Max Lord sebagai inangnya.

Kristal Citrine adalah salah satu dari kelompok crystal healing, yang dipercaya membawa kekayaan dan keberuntungan bagi si empunya batu tersebut. Dari hasil riset dan fakta unik kristal tersebut, akhirnya Patty Jenkins mengadopsinya menjadi objek utama yang diperebutkan dalam film ini.
Jadi, apakah sekarang kamu pun ingin memiliki Citrine juga?
Barbara Minerva tidak sejahat itu

Sosok Barbara ini diperankan dengan apik oleh Kristen Wiig. Ia mampu mengolah perpindahan watak dari karakter Barbara yang polos, menjadi sosok yang tegas dengan sangat rapi.
Lalu mengapa ia menjadi begitu dendam pada Diana?
Menurut pendapat saya, Barbara hanya ingin mempertahankan sisi dirinya yang sudah ‘berkembang’, mengingat betapa lugunya ia dulu dan tidak ada yang mempedulikan dirinya selain Diana.
Saya pribadi pernah berada di posisinya, sehingga paham betul bila pamornya dan dunia Barbara sebentar lagi terenggut oleh campur tangan Diana.Dendam dan amarah Barbara bukanlah murni dari hatinya, tetapi sikap Diana yang sok heroik lah yang akhirnya menciptakan ‘musuh’nya sendiri.
Pada akhirnya?
Tetap Barbara lah yang menjadi korban play victim Diana di depan penonton.
Mengapa bisa begitu? Berikut opini saya tentang Barbara:
- Seseorang yang lugu, polos dan tak berdaya tentu ingin mendapatkan kehidupan yang layak dan diterima di tengah masyarakat. Ketika akhirnya Barbara mendapatkan sesuatu yang layak itu, wajar kan bila berusaha keras mempertahankannya
Proyek barang curian yang ditangani Barbara bersama FBI adalah murni job desk Barbara, sama sekali bukan ranah Diana (walau benar, dia yang ‘menyelamatkan’ barang-barang itu). Ketika Diana terkesan marah pada Barbara soal Citrine tersebut, Barbara berhak kaget dengan ‘penyerangan’ ini. Ditambah lagi Diana buru-buru meninggalkannya dengan tanda tanya besar, jelas sedikit banyak itu sudah menambah rasa kecewa dalam diri Barbara.
Ketika ia menyerang pemabuk di tengah malam, sebenarnya bukan tanpa alasan pula. Wanita yang menghadapi perundungan setiap hari, juga memiliki lelah mental dan kecemasan yang teramat sangat. Dari ‘kekuatan’ yang secara tak langsung Barbara dapatkan, akhirnya ia pun membaca peluang itu dan memberi pria itu pelajaran; baik itu Barbara ataupun wanita-wanita lain, mereka tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu.
Maxwell Lord hanya ingin usahanya maju dan menjadi ayah yang baik

Katakanlah Max Lord melakukan sebuah hal yang ilegal dalam hal pencurian Citrine, namun tujuan utamanya bukanlah ingin menghancurkan dan menguasai dunia.
Dalam kilas balik yang ditunjukkan oleh lasso, nampak Max kecil yang sering mengalami kekerasan dalam keluarga. Juga ketika awal berkarir pun, Max berusaha memberikan pelayanan yang terbaik bagi kliennya (nampak dari meja kecil berisi suguhan di samping pintu) dan dimulai dari sebuah kantor kecil yang nomor ruangannya saja sudah rusak.
Namun apa yang dia dapatkan dari semua usahanya?
Kehancuran …
Kejatuhan karir …
Rekan bisnis yang mulai menekan …
Diremehkan …
Semua ia alami di depan Alistair, yang bahkan belum paham dunia orang dewasa. Alistair hanya datang ke kantor untuk bertemu ayahnya. Dari rundungan kegagalan dan impian lah akhirnya Max Lord berusaha mencari jalan pintas lewat Dreamstone yang melegenda itu, yang kebetulan saat ini berada di tangan Barbara.
Dengan kepiawaiannya menarik hati dan ilmu komunikasi, akhirnya Max lord mencuri Citrine itu…
Apakah sebuah tindakan yang salah?
Tidak juga, karena secara tidak langsung ia juga mengklaim hak kepemilikan batu itu.
Terutama ketika Barbara berkata,
“Aku membiarkan ia meminjam benda itu, karena ia memberikan dukungan secara besar kepada Smithsonian. Jadi apa alasanku untuk tidak percaya padanya?”, pun sebenarnya Citrine sudah kembali ke si empunya batu.Akan lebih wajar bila Diana mempermasalahkan Citrine itu ketika nantinya digunakan berbuat kejahatan, bukan saat Barbara meminjamkannya.
Saat Max Lord mulai menggunakan kekuatan Citrine, saya menangkap sisi manusiawi dari seorang Max Lord pun berakhir. Yang kita lihat dari pertengahan film hingga diselamatkan oleh Diana adalah sosok Citrine yang ‘meminjam tubuh’ Max Lord seperti halnya tubuh Steve Trevor. Pilihan yang tepat ketika Max Lord diperankan oleh Pedro Pascal, ia begitu halus melakukan perpindahan watak dari Max menjadi Dreamstone.
Steve Trevor sudah bahagia

Sejak awal debutnya di foto-foto promosi WW84, banyak teori-teori dan analisa penggemar soal kebangkitan Steve dari kematiannya.
Ada yang bilang bahwa itu sosok cucu Steve Trevor (?)
Ada pula yang berteori dia sempat melompat dari pesawat (walau tetap saja mati bila dilogikakan).
Ada pula yang menyebut dia adalah kloning dari Steve Trevor sendiri.
Akhirnya, tidak satu pun dari teori-teori itu benar dan dipatahkan oleh lewat hadirnya Dreamstone dalam film ini. Hal itu sudah menjadi nilai plus bagi saya, bahwa menghadirkan kembali sosok penting tidak harus membangkitkan orang mati. Ide tersebut tentunya akan menimbulkan keresahan, seperti adegan King Aslan yang membelah lautan di film Narnia.
Steve sendiri tentunya kaget dengan apa yang terjadi. Pasalnya, ia tak mengingat apapun sampai ia mengisi tubuh orang lain sebagai inang. Kehadirannya memang dinantikan oleh Diana, tetapi ia sadar potensi dirinya belum tentu mampu membuat Diana bahagia.
Teori ini pernah saya bahas di facebook pribadi saya:
Diana tidak mudah move on dari Steve Trevor, padahal umurnya sudah lebih dari satu abad (waktu itu mengikuti timeline Justice League). Seandainya Steve masih hidup, apakah yakin Steve adalah orang yang setia? Dia adalah mata-mata yang banyak akal dan sudah sering singgah dimanapun, tentunya ia pasti memiliki kekasih-kekasih lain di luar sana kan?
Saya sendiri tidak yakin Steve adalah orang yang sangat setia. Oleh sebab itu, saya paham sekali mengapa Steve ikut merasa bersalah karena Diana rela menukar kekuatannya dengan umur Steve.
Ia sudah cukup bahagia bisa melihat kembali dunia yang terbebas dari perang; melihat foto Etta Candy yang menua dan dirawat oleh Diana, mengendarai pesawat seperti hobinya, melihat namanya dikenang menjadi sebuah monument, dan juga menikmati semua hal yang terjadi di tahun 1984.
Lalu setelah itu? Kosong, hampa.
Ia pun mungkin tidak membayangkan akan menikah dan melanjutkan hidup bersama Diana—apalagi mengetahui Diana semakin memburuk selama ia masih hidup. Itu bukanlah kehidupan romansa yang Steve harapkan untuk Diana.
Setiap kalimat perpisahan Steve Trevor adalah ucapan terima kasih terbesar yang mampu ia utarakan. Steve sudah bahagia, dan akan lebih bahagia bila Diana melanjutkan hidupnya tanpa Steve. Ada banyak pria di luar sana yang lebih baik dan lebih pantas untuk Diana, hanya jika Diana mau membuka dirinya kembali. Itulah makna dari kalimat “aku bahagia, bila kamu juga bahagia” yang sesungguhnya.
Diana layak mengenakan baju zirah Asteria

Kesalahan dan kegagalan, adalah pelajaran berharga untuk semua makhluk di dunia; baik itu manusia, maupun setengah Dewa seperti Diana. Sejatinya Diana pun masih memiliki sisi manusiawi dengan perasaannya.
Pada film Wonder Woman 2017, setting tahun di Belgia saat itu adalah tahun 1918. Saya rasa, saat itu Diana masih terhitung gadis yang polos berumur belasan tahun dan baru mengerti apa artinya jatuh cinta. Yang ada dalam pikirannya hanyalah ‘Aku harus menemukan Ares dan menghentikan kejahatannya’ atau malah ‘aku harus ke dunia manusia untuk menyelamatkan mereka’. Baru lah ketika sosok lelaki pertama yang dilihatnya bernama Steve Trevor masuk ke Themyscira, hormon Diana pun tumbuh dan ia merasakan sensasi lain akibat perjumpaan itu.
Sekarang Diana sudah melewati era ’84. Bagi manusia lain, 60 tahun mungkin adalah waktu yang amat lama. Tetapi bagi Diana, waktu tersebut begitu singkat, seperti baru kemarin ia menjalaninya. Itu sebabnya mengapa Diana belum mampu melupakan sosok Steve Trevor; Kisah Diana dan Steve di tahun 1918 belumlah selesai, karena mereka tak sempat mengutarakan kalimat perpisahan.
Berkat hadirnya Citrine, Diana seakan mendapatkan mimpinya yang menjadi nyata, keinginannya adalah agar bisa berjumpa kembali dengan Steve dan mengucapkan perpisahan. Hanya itu.
Lalu apakah semua berakhir di sana? Tidak.
Semua hal yang dihadapi Diana serba kurang masuk akal, apalagi instingnya sebagai keturunan Dewa tentu begitu kuat. Dalam hidupnya, Diana diajarkan untuk berperang dan bukan berproses menyelidiki masalah. Tentu akhirnya ini menjadi penghalang Diana dalam konteks ‘pendekatan’ kepada subyek yang akan ia temui.
Letak kesalahan Diana ada pada sikapnya yang kurang sopan menyambut tamu (Max Lord) di Smithsonian dan terlalu ikut campur urusan Max Lord tentang Citrine. Diana bukanlah owner dari Smithsonian, tetapi ia seakan berusaha keras mencari tahu asal muasal Citrine bahkan sebelum mengetahui niat Max Lord sendiri. Bisa dibilang, Diana menciptakan musuhnya sendiri kedua kalinya.
Ucapan Barbara yang berbunyi,
“Apa yang sudah kubayar?! Apa yang sudah kamu sendiri bayar? Ya, benar, terbiasalah dengan akibatnya.”
Seakan menjadi tamparan keras bagi Diana yang saat itu berusaha menggurui hidup orang lain, namun ia sendiri pun melakukan kesalahan itu.Dari sana ia sadar, bahwa tak selamanya kita hidup dalam ilusi dan kebohongan semata. Hanya dengan merelakan dan melepaskan keinginannya pada Citrine, kekuatan Diana akan pulih dan kembali.
Dengan begitu, ia layak menggunakan Lasso of Hestia dan mengenakan baju zirah Asteria sebagai seorang pejuang kebenaran dari Themyscira.
Villain tidak harus mati dalam perang

Banyak penonton yang mungkin kecewa, mengapa musuh dalam film ini tidak dibuat mati saja?
Terkadang, sosok villain dalam sebuah film hanya perlu kalah; entah dengan cara menyentuh egonya, atau dengan mengendalikan sumber kekuatannya.
Mereka sebenarnya tercipta, karena dunia dan masyarakat kurang menerima keadaannya. Keinginan mereka bukanlah menjadi jahat, tetapi pola pikirnya lah yang membuat hal di masa mendatang jadi hancur karena ulahnya. Sama seperti apa yang Max lord dan Barbara alami.
Iya, tapi mengapa nggak dibunuh saja sih?
Jika mereka berdua dibunuh, apakah kamu tidak penasaran setelah Alistair mengutarakan permohonan, kekuatan Max berpindah padanya?
Apakah kamu juga tidak penasaran, apakah Barbara nantinya akan memperoleh kekuatan Cheetah-nya kembali dari cara seperti di komik?
Semua hal masih memiliki masa depan, setiap detail masih bisa dikembangkan. Yang kita perlukan hanyalah duduk, mendukung, dan menyaksikan kisah berikutnya.
Max Lord hanya ingin bisnisnya tetap Berjaya untuk kelangsungan hidupnya, Barbara pun hanya ingin dihargai keberadaannya di tengah masyarakat sekitarnya. Itu lah alasan mengapa Diana tetap menyelamatkan Barbara dan menyadarkan Max; karena mereka pantas memperoleh hidup yang layak.