Review No Time to Die – Setelah tertunda penayangannya selama 18 bulan, No Time to Die akhirnya resmi tayang di layar lebar sejak 30 Oktober 2021 kemarin.
Tanpa bisa dicegah, ekspektasi terhadap film ini memang besar.Pertama, ini adalah film terakhir bagi Daniel Craig sebagai James Bond. Sebenarnya, Spectre nyaris menjadi film terakhirnya.
Namun, akhirnya Craig memenuhi opsi dalam kontral awal, yaitu membintangi paling tidak 4 judul film Bond dengan opsi tambahan satu judul lagi. Honornya yang sebesar $50 juta juga mungkin menambah mulusnya persetujuan Craig.
Selain tayang di layar biasa, No Time to Die juga ditayangkan dalam format layar IMAX untuk memberikan pengalaman sinematik yang maksimal.
Dalam Review No Time to Die kali ini, kita akan mengupas berbagai aspek menarik dari film yang sudah lama ditunggu-tunggu para penggemar agen rahasia berkode 007 dari Inggris yang kerap membuat kontroversi ini.
Sebelum kalian menonton filmnya di bioskop-bioskop favorit kamu, mari kita simak dulu review No Time to Die berikut yuk, gaes!
No Time to Die: Babak Penutup dari Empat Film Sebelumnya
Satu hal yang membedakan era Bond versi Daniel Craig adalah kelima film Bond yang dibintanginya memiliki keterkaitan satu sama lain.
Tidak seperti film-film Bond sebelumnya yang memiliki kisah yang berdiri sendiri, Bond era Craig memiliki benang merah yang menyatukan semuanya.Kelima film ini memiliki hubungan melalui sebuah organisasi kriminal raksasa yang belakangan diketahui bernama Spectre.
Spectre menjadi momok bagi MI6 dan seisinya karena jaringan mereka ada di seluruh dunia.No Time to Die dibuka dengan kilas balik masa kecil Madeleine Swann (Lea Seydoux).
Seseorang yang dendam pada ayah Madeleine, di film-film terdahulu dikenal dengan nama Mr. White, mendatangi rumah keluarga Madeleine dan membunuh ibunya.
Madeleine kecil berhasil menembak lelaki tersebut, tapi ternyata lelaki itu masih hidup. Madeleine yang berlari melintasi danau es tercebur dan nyaris mati beku.
Lelaki tersebut anehnya malah menyelamatkannya dan mengatakan pada Madeleine bahwa ia melakukan semua ini karena ayah Madeleine telah membunuh seluruh anggota keluarganya. Latar lalu melompat ke masa kini.
Setelah berhasil menangkap Ernst Stavro Blofeld (Christoph Waltz), James Bond (Daniel Craig) dan Madeleine sempat menikmati masa-masa tenang berdua saja.
Mereka berniat untuk saling terbuka tentang masa lalu masing-masing.James dan Madeleine juga berniat untuk melupakan masa lalu mereka yang pahit dan memaafkan orang-orang yang pernah menyakiti mereka dulu, agar mereka bisa memulai lembaran hidup baru bersama.
Namun, sekelompok orang bersenjata atas nama organisasi Spectre menyerang Bond, membuat seolah-olah Madeleine lah yang telah mengkhianati Bond dengan memberi tahu lokasi mereka. Karena tidak percaya dengan sanggahan Madeleine, Bond memutuskan hubungan mereka dan menghilang.Lima tahun kemudian, Bond yang sudah mengundurkan diri dari MI6 dan hidup menyendiri dalam masa pensiun didatangi oleh agen CIA Felix Leiter (Jeffrey Right) dan rekan barunya Logan Ash (Billy Magnussen).
CIA menindaklanjuti serangan misterius yang ditujukan ke sebuah laboratorium rahasia di London yang ternyata berada di bawah kendali MI6. Sebuah jenis virus baru bernama Heracles dibawa lari dari laboratorium tersebut dan semua pihak, baik CIA maupun MI6 ingin merampas virus tersebut kembali.
Setelah berbagai kejadian yang tidak terduga, semua bermuara kembali ke satu nama, Spectre. Sungguh mengherankan karena otak di belakang Spectre, yaitu Blofeld, sudah berada di penjara berkeamanan maksimum.
Mengapa ia masih bisa mengendalikan berbagai insiden ini dari balik jeruji? Apalagi saat virus tersebut mendadak berbalik menyerang seluruh anggota Spectre. Sebuah pertanyaan baru muncul ke permukaan. Jika bukan Spectre dalangnya, lalu siapa?
Bond sekali lagi dihadapkan pada sebuah pilihan. Apakah ia akan berdiam diri karena ia sudah bukan agen 007 lagi?
Atau ia akan membantu rekan-rekan lamanya di MI6, termasuk mantan atasannya M (Ralph Fiennes) yang sebenarnya sedang menghadapi kesulitan besar akibat virus Heracles tersebut?
Level yang Berbeda dalam No Time to Die
James Bond adalah sumber segala film bergenre spionase. Sebagai pioneer, formula James Bond sudah digunakan di berbagai film bergenre spionase sukses lainnya seperti Mission Impossible dan serial Jason Bourne.
Walau demikian, Bond tetap berada satu level lebih istimewa karena sosoknya yang unik tadi. Di No Time to Die, diceritakan Bond sudah sangat matang dan berubah.
Ia bahkan nyaris memilih untuk mundur dari hingar bingar misi berbahaya dan menghabiskan sisa hidup dengan perempuan yang ia cintai. Hal ini merupakan sebuah penghormatan terhadap film Bond ‘On Her Majesty’s Secret Service’ di tahun 1969.
Ada beberapa karakter perempuan menarik sekaligus menggoda di No Time to Die. Ada Paloma yang diperankan oleh Ana de Armas yang sangat mencuri perhatian.
Ada juga Nomi (Lashana Lynch) yang tidak memalukan saat berperan sebagai agen 007 yang baru sepeninggal Bond. Jika No Time to Die merupakan film Bond di era lama, para karakter perempuan ini pasti bakal menjadi ‘love interest’ Bond.
Akan tetapi, tidak demikian di film ini. Bond tetap menjaga profesionalismenya dan bahkan menunjukkan rasa hormat yang tinggi terhadap rekan-rekan cantik yang sama hebat dengan dirinya itu.
Selain beberapa aspek di atas, No Time to Die tidak meninggalkan ciri khas film-film Bond yang sudah paten. Parade mobil Aston Martin, jam tangan mewah Omega, berbagai gawai canggih ciptaan insinyur MI6, ‘Q’ (Ben Whishaw) dan ponsel Nokia yang melakukan ‘comeback’ di film ini.No Time to Die juga merupakan film Bond terlama dengan durasi 163 menit. Sebuah porsi yang berat dan bisa jadi gagal jika tidak diisi dengan tepat.Untungnya, sutradara Cary Joji Fukunaga dengan cerdas memadukan adegan-adegan aksi yang cepat dan seru.
Selain itu, aksi yang padat juga diselingi dengan drama yang menjadi roda pendorong cerita tanpa jadi berlebihan.
Fukunaga berhasil memperbaiki penurunan tensi di Spectre dalam No Time to Die. Sesuatu yang gagal dilakukan sutradara film Bond sebelumnya, Sam Mendes, yang membuat Spectre menjadi lamban dan cenderung membosankan.
Fukunaga juga tidak lupa memasukkan semua ciri khas film Bond dengan porsi yang seimbang tanpa melupakan sentuhan drama yang dalam.
Adegan kejar-kejaran, baku tembak dan perkelahian dengan koreografi megah, musuh Bond yang punya masalah kejiwaan, dan dialog-dialog penuh sarkasme menyegarkan antara Bond, Q dan M melengkapi semuanya.
Secara keseluruhan, No Time to Die bisa dibilang memiliki semua karakteristik film Bond klasik tapi tetap relevan dengan masa kini.
Selain itu, ceritanya juga khusus dibuat sebagai penghormatan dan ucapan perpisahan yang megah dan epic bagi Daniel Craig. Daniel Craig sendiri disebut-sebut sebagai pemeran James Bond terbaik setelah Sean Connery. Sebuah pencapaian yang luar biasa.Film terakhir Craig sebagai Bond ini diharapkan bukan hanya seru sebagai film aksi spionase yang menjadi daya tarik utama kisah James Bond, tapi juga mengandung emosi yang kuat sebagai film penutup yang pantas bagi Daniel Craig.
Dua tokoh antagonis yang muncul di No Time to Die ini juga istimewa. Selain Christoph Waltz, yang hanya tampil sedikit tapi tetap menarik, ada Rami Malek, pemenang Academy Awards juga.
Malek memerankan tokoh bernama Lyutsifer Safin, tokoh yang memiliki dendam kesumat terhadap Spectre. Malek berhasil membawakan perannya dengan gaya yang terlihat effortless, tapi memiliki karisma.
Rami Malek menginterpretasi karakter dengan penggunaan nada suara lebih rendah dan lirih saat berbicara, sehingga dialog-dialog yang ia ucapkan memiliki daya hipnotis yang mengerikan.Dengan wajah sendu dan senyum sedih, ia menyatakan bahwa dirinya dan Bond sebenarnya memiliki tujuan yang sama. Ia percaya bahwa dirinya sama-sama hendak menyelamatkan dunia.
Tidak ada yang lebih mengerikan dengan tokoh jahat yang mengira kejahatannya itu adalah sebuah tindakan mulia. Dengan demikian, Malek berhasil menjadikan Safin penjahat film Bond yang berhasil menebar ancaman dengan gaya super kalem.
James Bond di film ini seolah menghadapi akumulasi dari berbagai tindakannya selama menjadi agen 007 untuk MI6. Bond bukan hanya pahlawan, ia juga seorang pembunuh. Jika ia harus melakukan penebusan dosa, hal itu tidak akan mudah.
No Time to Die Sempat Mengalami Pergantian Sutradara
No Time to Die awalnya direncanakan untuk memulai syuting di akhir tahun 2018 dan tertunda hingga April 2019.
Hal ini akibat mundurnya Danny Boyle dari kursi sutradara karena perbedaan ide kreatif. Setelah itu, Cary Joji Fukunaga akhirnya masuk dan memulai principal photography dengan bekerja sama dengan sinematografer Linus Sandgren.
Penulis script Phoebe Waller Bridges juga diajak untuk berkontribusi dalam penulisan naskah.Selain itu, film ini juga mencatat beberapa hal baru dari seluruh saga 25 film Bond produksi Eon sejauh ini.
Aktor Jeffrey Wright adalah aktor pertama dalam waralaba Bond yang memerankan karakter Felix Leiter sebanyak tiga kali.
Lea Seydoux juga merupakan ‘Bond Girl’ pertama yang tampil lebih dari satu kali di sepanjang waralaba Bond. Memerankan anak dari kepala Spectre, Mr. White, sekaligus wanita yang dicintai James Bond.Sikap Bond terhadap perempuan di film ini juga sedikit banyak terpengaruh dengan gerakan ‘Me Too’ yang mengguncang Hollywood beberapa tahun yang lalu. Bond boleh saja selalu memesona kaum hawa, tapi sangat penting untuk menjaga Bond untuk tetap menaruh hormat pada mereka.
Aktor pemenang Academy Awards, Christoph Waltz, juga mencatat dirinya sebagai aktor yang memerankan salah satu musuh terbesar James Bond, Blofeld sebanyak dua kali.
Awalnya, Waltz menolak untuk tampil kembali, kecuali jika Daniel Craig setuju untuk kembali memerankan Bond untuk terakhir kalinya.
No Time to Die, Pendobrak Gaya Bond Era Baru
Sejak menjadi James Bond di film Casino Royale tahun 2006 silam, Daniel Craig memang telah membawa pembaruan drastis pada karakter agen mata-mata Inggris tersebut.
Penampilannya yang ‘kasar’, jantan, beringas, dan jauh dari kesan klimis benar-benar mengubah citra James Bond sebelumnya.
James Bond memang selalu identik dengan gayanya yang flamboyan, selalu tampil elegan dengan rambut tertata dengan baik, yang tidak rusak modelnya bahkan setelah ia berkelahi dengan hebat sekalipun.
Noda pun sepertinya enggan hinggap di setelan mahalnya yang selalu licin dan tidak pernah kusut. Gaya khas dari James Bond yang selama ini sudah dikenal penggemarnya porak poranda sejak datangnya Daniel Craig. Waktu Daniel Craig diumumkan bakal menjadi agen dengan kode 007 yang baru, hal itu cukup mengagetkan.Craig selama ini lebih dikenal sebagai aktor handal di film-film bergenre drama. Sebelum menjadi Bond, ia sudah tampil memikat di film-film seperti The Mother, Sylvia, Road to Perdition, dan Enduring Love.
Walau ia pernah membintangi beberapa film aksi seperti Layer Cake, Lara Croft Tomb Raider dan Munich, tapi porsi aksi yang ia perankan tidak seperti skala yang bakal ia lakoni sebagai James Bond.
Penampilan fisik Daniel Craig memang badass dan sangar. Pastinya akan pas jika memerankan jagoan di film aksi, tapi untuk pakem Bond yang selama ini dikenal, Craig sama sekali tidak memiliki aura dandy dan flamboyan ala Bond.Craig menjawab semua keraguan sejak ia pertama kali tampil di Casino Royale hingga ia melangkah pergi di No Time to Die.
Dengan rambut dipotong cepak yang kasar dan wajah kerap babak belur, Craig dengan sukses membawa perubahan besar bagi waralaba James Bond, sekaligus menetapkan standar baru bagi siapapun aktor yang akan menggantikannya kelak.
Posisi yang ditinggalkan Daniel Craig akan sangat sulit untuk diisi oleh penerusnya. Daniel Craig membawakan peran James Bond versinya sebagai sosok yang seolah tidak bisa dihancurkan, tanpa menghilangkan sisi kemanusiaan Bond.
James Bond versi Craig memang tampak beringas dan tidak terkalahkan, tapi semua itu hanya karena ia sangat pandai menutupi kerapuhannya. James Bond versi Daniel Craig memang berbeda dengan sosok Bond terdahulu.
James Bond adalah seorang pahlawan yang tampak kokoh, tapi di dalamnya ia tetap manusia dengan berbagai kekurangan dan kesalahan.
Penutup
No Time to Die merupakan film James Bond yang cukup spektakuler dan menghibur di setiap menitnya.
Bukan hanya menegangkan dan seru seperti layaknya film-film Bond terbaik lainnya, ia memiliki semua aspek klasik kisah-kisah Bond, sekaligus disempurnakan dengan modernisasi dan semangat Bond era baru.
Sebagai film penutup bagi penampilan seorang Daniel Craig yang luar biasa dan tak terlupakan, No Time to Die diciptakan dengan kemutakhiran yang tinggi, tetap stylish dan berkelas, tanpa melupakan jiwa seorang lelaki, tokoh ikonik sepanjang masa, bernama Bond.