Review Don’t Breathe 2 ini tidak mengandung SPOILER sama sekali.
Tak memungkiri banyak dari kita yang terkejut (surprise) banget ketika menyaksikan Don’t Breathe (2016). Pasalnya, kala itu banyak yang menyangka kalau film yang dibintangi oleh Stephen Lang (Avatar) ini, akan menjadi film home invasion yang pada umumnya saja.
Namun betapa terkejutnya kita ketika menyaksikan film arahan Fede Alvarez (Evil Dead) ini. Film ini ditampilkan layaknya seperti film thriller yang sangat menegangkan. Dan sesuai judulnya, kita dalam menonton filmnya, tidak aka nada kesempatan untuk menarik satu hela nafas pun.
Ketegangan ini juga dibarengi dengan kekaguman kita terhadap karakter dan akting keren Lang sebagai karakter utamanya, Norman Nordstrom, mantan veteran angkatan laut yang tuna netra, namun masih bisa membela dirinya dari berbagai pencuri, atau bentuk kejahatan lainnya.
Memang secara moral, sosoknya sangat abu-abu dan kerap bertindak di luar hukum. Tapi siapa juga yang peduli bukan? Toh kita sebagai audiens, sudah terbius dengan ketegangan filmnya dan penampilan fantastis Lang tersebut.
Nah sebenarnya kalau kita lihat dari ending-nya, Don’t Breathe tidak perlu-perlu banget untuk dibuat sekuelnya. Namun pada akhirnya, Don’t Breathe 2 dibuat dan dirilis juga. Lalu, apakah sekuel ini sekeren dan setegang film pertamanya? Langsung saja simak review Don’t Breathe 2 berikut ini.
Plot
Don’t Breathe 2 berlatar 8 tahun setelah peristiwa film petamanya. Kini si kakek tuna netra badass itu, memiliki kehidupan yang jauh lebih tenang dan terpencil. Iapun kini, juga memili seorang putri bernama Phoenix (Madelyn Grace).
Dikarenakan Norman seperti kita tahu, adalah sosok yang selalu waspada terhada bahaya sekitar (dan memang juga banyak yang mengincar nyawanya), alhasil iapun memberikan pelatihan bela diri dan persenjataan ke putri tercinta.
Namun di saat yang sama, gara-gara sifat dan kehidupannya ini jugalah, iapun juga menjadi sosok paranoid dan over protektif terhadap Phoenix. Bahkan untuk mendapatkan pendidikan saja, ia hanya menjalani home schooling melalui buku-buku milik ayahnya.
Gara-gara sifatnya inilah, akhirnya Phoenix dan Norman beberapa kali selisih paham.
Akan tetapi selisih dan ego keduanya ini kini, harus di-pending dulu. Karena rumah mereka didatangi oleh geng yang terlihat sangat ingin menculik Phoenix. Tentnunya melihat ini, Phoenix berusaha melawan dan kabur, dan sang ayah juga tentunya kembali menjadi sosok badass yang seperti kita saksikan di film pertamanya.
Seperti Menyaksikan 2 Film Berbeda
Seperti yang dikatakan di paragraf pembuka, sebenarnya Don’t Breathe gak perlu dibuatkan sekuelnya. Karena kalau dibuat, ya, bisa kita katakan akan terlihat dipaksaskan.
Tapi karena sudah dibuat dan melihat di adegan ending, Norman masih hidup, maka penulis pun menjadi penasaran juga untuk menyaksikan dan menulis review Don’t Breathe 2 ini.
Terlebih, penulis memang fans film pertamanya. Jadi terlepas rasa was-was yang ada, penulis putuskan untuk “tancap gas” saja. Dan bisa penulis katakan untuk babak pertama yang juga merupakan babak untuk melakukan set-up kisah filmnya, eksekusi persiapannya, oke.
Bahkan hingga geng penculiknya datang dan melakukan aksinya di rumah keduanya, semuanya masih tegang. Konsep judul filmnya teraplikasikan sama baiknya seperti di film pertamanya. Namun memasuki babak kedua hingag akhir, film ini melakukan transisi yang cukup tajam.
Spesifiknya, di paruh kedua, Don’t Breathe berubah menjadi film action-kidnapping kacangan. Alhasil, membuat kita seolah-olah sedang menyaksikan dua genre film berbeda.
Simpel Tapi Diribet-Ribetkan
Dan yang membuat kita merasa demikian, dikarenakan sutradara Rodo Sayagues yang merupakan penulis naskah film pertamanya, meribet-ribetkan konsep kisah filmnya. Padahal seperti kita ketahui, faktor lain yang membuat Don’t Breathe sukses, adalah konsep kisah dan eksekusinya yang sangat simpel dan benar-benar fokus.
Sebagai penyegar siapa tahu kalian lupa, film pertamanya mengisahkan tiga remaja yang ingin merampok uang santuan bernilai tinggi milik Norman. Dan uang santunannya ini berada di dalam salah satu brankas dalam rumahnya.
Dan di sepanjang film, ya kita melihat fokus plot-nya ini saja. Memang, ada plot tambahan yang melibatkan wanita yang diculik dan disekap Norman. Tapi plot tambahan tersebut tetap terkoneksi kuat dengan plot utama dan yang terpenting, tidak mengurangi kesimpelan dan ketegangannya.
Don’t Breathe 2 di lain pihak justru mencoba untuk memberikan plot tambahan yang maksudnya, agar memberikan ancaman lebih gokil lagi, tapi pada akhirnya Sayagues terlihat menjadi kelabakan tidak karuan sendiri.
Sehingga ketika akhirnya memasuki babak kedua dan final, ketertarikan dan juga ke-intensan kita untuk menyaksikan Don’t Breathe 2 pun melempem.
Untung saja, komposer film pertamanya, Roque Banos dan keseluruhan koreografi tarungnya terliaht sangat padu dan keren. Sehingga, membuat kita masih seru sendiri ketika melihat aksi sekaligus”kreatifitas” kematian yang diciptakan oleh Norman.
Lang & Grace Adalah Pasangan Badass Sejati
Dan tentunya kekurangannya semakin tertutupi dengan penampilan Lang yang masih badass dan ngeri saja. Namun sayangnya, dibandingkan penampilan di film pertamanya, sosok Norman di sekuelnya ini jauh lebih “jinak”.
Memang ia masih menampilkan gerakan-gerakan membunuh yang gokil dan juga, masih selalu serius dan menggerutu. Tapi dikarenakan karakternya kali ini ditampilkan lebih mengarah ke sisi protagonis (walau secara mendasar masih anti-hero), otomatis kesangarannya pun menjadi berkurang.
Namun untunglah ada Grace yang menjadi tandem Lang yang sangat oke. Bahkan kalau boleh terang-terangan disini, Grace sukses mengejutkan kita semua. Penampilannya sebagai Phoenix sangat jauh lebih matang dan dewasa dari sosoknya yang terlihat masih cilik.
Grace sendiri saat ini masih berusia 12 tahun. Ya, 12 tahun gaes! Tapi performanya disini bagaikan ia sudah berusia 25 tahun. Lang pun di sepanjang filmnya, terlihat tinggal memberikan sedikit pengimbangan saja. Intinya Madelyne Grace, adalah salah satu bintang masa depan Hollywood dengan prospek yang sangat cerah.
Melihatnya, membuat penulis teringat ketika di awal 2000an, melihat sosok Dakota Fanning (I Am Sam) dan Chloe Grace Moretz (Kick-Ass) di usia yang serupa. Semoga saja nih, ke depannya Grace bisa mendapatkan proyek-proyek film yang berkualitas Oscar.
Karena sekali lagi, memang sudah pada tingkat itulah kualitas performa aktris cilik yang telah berakting sejak tahun 2016 ini.
Penutup
Jadi berdasarkan review Don’t Breathe 2 ini, apakah film ini layak untuk disaksikan? Sebenarnya secara kualitas, film ini jauh lebih menurun dari film pertamanya. Namun untunglah penampilan serta chemistry antara Stephen Lang dan Madelyn Grace keren banget.
Dan apabila kamu fans film action dan juga film pertamanya, dijamin kamu semua masih akan enjoy walau mungkin, akan merasakan sedikit kekecewaan terhadap penurunan kualitas sekuelnya ini. Tapi, bisa juga kamu justru ama menikmatinya seperti menyaksikan film pertamanya dulu.
Yang jelas, mau bagaimanapun rekasinya nanti, bagi kamu yang memang ingin nonton Don’t Breathe 2, langsung saja kamu meluncur ke situs nonton film online gratis berikut.