Cerita Battle Royale asal Jepang karya Koushun Takami adalah salah satu kisah yang paling awal mengusung tema permainan maut. Sejumlah orang di tempatkan di sebuah tempat khusus atau semacam arena di mana mereka harus menyelesaikan sejumlah tantangan atau permainan.
Mereka yang berhasil menang atau menyelesaikan tantangan tersebut akan maju ke babak berikutnya. Sedangkan mereka yang kalah akan langsung dibunuh. Konsep yang keji dan mengerikan. Namun, laku keras karena kontroversial.
Squid Game adalah drakor terbaru yang mengusung tema serupa. Setelah Battle Royale, sudah ada serial The Hunger Games dan Alice in Borderland, Korea Selatan ingin menciptakan kisah dengan tema yang sama , tapi tentunya tetap memiliki ciri khas.
Sejak tayang di Netflix belum lama ini, Squid Game langsung menempati posisi nomor satu serial yang paling banyak ditonton secara global. Drakor terbaru yang satu ini memang berbeda dari pakem drakor biasa.
Review Squid Game kali ini akan membahas mengapa Squid Game tetap istimewa walau bukan merupakan ide baru. Jika kamu-kamu belum sempat menontonnya, atau baru akan menonton, baca dulu yuk review Squid Game ini!
Arena Megah Khas Taman Bermain yang Penuh Teror
Sejak karakter utama, Seong Gi-hun (diperankan aktor Lee Jung-jae) terbangun dari pengaruh obat bius, ia mendapatkan dirinya berada di sebuah bangsal besar penuh manusia dan tempat tidur bertingkat-tingkat.
Sebuah konsep yang megah, misterius, dan memberikan perasaan tidak enak pada penontonnya. Lampu-lampu yang terang, cat dinding berwarna-warni dan dekor yang dibuat menyerupai arena bermain anak-anak tetap tidak bisa menyembunyikan sesuatu yang mengancam di baliknya.
Aura gelap itu tetap kuat saat mereka dibawa ke arena permainan pertama, sebuah padang rumput dengan sinar matahari terik yang cerah, di mana mereka semua harus ikut bermain ‘Lampu Merah, Lampu Hijau’.
Yang terjadi adalah, separuh dari 456 peserta permainan tersebut sudah tewas diberondong peluru karena gagal mempertahankan posisi diam mereka saat giliran lampu merah. Rasa penasaran terjawab sudah. Permainan dengan hadiah uang 45,6 Milyar Won yang dijanjikan ternyata harus ditebus dengan nyawa.
Teror demi teror itu berlanjut saat para pemain yang awalnya sempat mundur memutuskan untuk kembali lagi ke arena, karena kenyataan yang mereka hadapi di dunia nyata memang begitu berat sehingga mimpi mendapatkan uang sebesar itu mengalahkan rasa takut akan mati.
Gi-hun tidak punya pilihan. Ia terlilit hutang lintah darat. Ibunya sakit-sakitan. Mantan istrinya hendak pindah ke Amerika dengan suami barunya dan akan membawa anaknya. Gi-hun harus memiliki uang banyak jika ia ingin memperoleh hak asuh anak, mengobati ibunya, dan melepaskan diri dari jeratan lintah darat.
Sutradara dan penulis naskah Hwang Dong-hyuk menggulirkan permainan demi permainan yang bersumber dari beragam permainan anak-anak yang riang gembira, tapi diubah menjadi sesuatu yang mengerikan.
Tingkat kekejaman satu permainan dengan permainan selanjutnya saling mengalahkan. Eksplorasi kreativitas yang memaksa manusia menyusun strategi hingga ke batas maksimum untuk menang dan mengalahkan ketakutan mereka, karena jika tidak, mereka harus membayar dengan nyawa.
Plot Squid Game yang direntangkan dalam sembilan episodenya tidak menyisakan ruang untuk bernafas lega. Bahkan di saat tidak sedang ‘bermain’ pun, kita tahu bahwa sesuatu yang buruk sudah menunggu di ujung jalan.
Ketegangan dan tempo cerita berhasil terjaga tanpa ada bagian yang bertele-tele atau kosong. Selain itu, setiap episode juga menyajikan drama menusuk hati penuh kesedihan yang menohok hati.
Squid Game tidak banyak menggunakan efek spesial atau CGI. Set-set tiap arena permainan benar-benar dibangun dengan ukuran sebenarnya dan mencakup wilayah yang sangat luas, sehingga Squid Game mencatat rekor sebagai drama dengan produksi set terbesar yang pernah dibuat Korea Selatan.
Para pemain pun dituntut melakukan adegan-adegan fisik mereka sendiri dan tidak banyak menggunakan stunt-double karena sang sutradara menginginkan sesuatu yang realistis. Bahkan di beberapa adegan, para pemain benar-benar harus melompat dari ketinggian untuk mendapatkan ekspresi rasa takut yang natural.
Ada perasaan yang sangat tidak mengenakkan melihat latar dan set yang diciptakan dengan begitu mewah dan realistis, semarak dengan warna dan suasana ceria. Akan tetapi, kita tahu bahwa sebentar lagi semuanya akan dikotori dengan darah dan mayat di mana-mana.
Perasaan depresif akan semakin kuat saat kita ingat bahwa semua pemain melakukan semua ini atas kemauan mereka sendiri, secara sadar tanpa paksaan. Semata-mata akibat tekanan dan sulitnya hidup mereka di luar arena permainan.
Metafora Kelas Sosial dalam Miniatur
Sutradara Hwang Dong-hyuk mengeluarkan pernyataan di awal bahwa ia ingin menulis sebuah cerita yang merupakan alegori atau metafora dan masyarakat kapitalis modern. Ia menulis sendiri naskah drakor ini dengan ide tersebut.
Dua episode pertamanya saja memakan waktu penulisan hampir enam bulan lamanya. Setelah itu, Hwang meminta beberapa temannya untuk memberikan masukan ide.
Hasilnya, kisah ini memberikan teror psikologis penuh tekanan, yang ironisnya tercipta di antara warna-warni keceriaan semu. Permainan kanak-kanak yang murni dan polos sekarang malah memberikan sebuah kekejaman tanpa ampun.
Hal ini dengan kuat benar-benar bisa mewakili situasi lapisan masyarakat sosial yang ada di luar sana. Permainan ini tidak memaksa pesertanya, tapi mereka sendiri yang rela berpartisipasi, hanya karena pilihan untuk menghadapi kenyataan hidup seolah lebih buruk daripada kematian.
Mereka yang kaya dan miskin sebenarnya memiliki satu garis yang nyaris menyamakan keadaan mereka. Si miskin tidak tahu harus berbuat apa karena tidak punya uang, sedangkan si kaya tidak tahu juga harus berbuat apa karena terlalu banyak uang.
Hal ini memang merupakan potret sosial kebanyakan masyarakat yang berdesak-desakan di kota-kota besar yang menawarkan mimpi, tapi mustahil dicapai oleh mereka yang berasal dari lapisan sosial terbawah.
Mereka yang memiliki uang otomatis bisa mengendalikan kekuasaan dan berbuat seenaknya, sedangkan yang berada di bawah garis kemiskinan nyaris mustahil bisa melepaskan diri, kecuali ada kejadian luar biasa yang menimpa mereka.
Ini adalah metafora Squid Game. Permainan memiliki aturan yang jelas dan adil. Jika benar menang, uangnya benar-benar akan menjadi milik mereka. Tidak ada kecurangan dan semuanya merupakan pertaruhan.
Pertanyaannya, sanggupkah sang pemenang menggunakan uang tersebut, dengan jejak darah dan nyawa yang menjadi bobot uang tersebut? Seberapa besar yang berani mereka korbankan demi uang dan janji kehidupan yang lebih baik, bila dijalani di atas mayat ratusan orang?
Pesan ini berhasil disampaikan Squid Game dengan kuat. Semuanya tetap berujung pada bisnis belaka yang melibatkan orang-orang yang berada di lapisan teratas strata sosial dan yang lemah hanya bisa menunduk dan menuruti kemauan mereka.
Hukum kapitalisme memang demikian. Tidak ada bedanya dengan hukum rimba. Yang terkuat, karena uang, fisik, atau keberuntungan, akan keluar sebagai pemenangnya.
Jajaran Pemeran Bertabur Bintang
Pemilihan pemain adalah salah satu aspek terpenting dalam pembuatan sebuah drakor. Salah satu aktor terbaik di Korea Selatan, Lee Jung-jae, termasuk jarang main dalam drakor. Terakhir ia membintangi drakor berjudul Chief of Staff selama dua musim sebelum akhirnya memutuskan untuk berperan di dalam Squid Game.
Dengan adanya aktor sekaliber Lee Jung-jae menjadi penanda bahwa naskah Squid Game pastilah bermutu dan digarap dengan serius. Selain itu, Park Hae-soo juga merupakan salah seorang aktor dengan kemampuan akting yang sangat bagus menjadi tambahan kekuatan jajaran pemainnya.
Cameo istimewa dari si Goblin Gong Yoo dan sosok misterius di balik topeng hitam yang ternyata diperankan oleh aktor legendaris Lee Byung-hun sudah pasti menambah daya tarik drakor ini.
Lalu, dua orang aktor dan aktris muda berbakat Wi Ha-joon dan Jung Ho-yeon ternyata berhasil memberikan performa terbaik mereka dan berhasil mengimbangi akting para pemain senior. Sisa jajaran pemeran yang lain seperti aktor Heo Sung-tae, Tripathi Anupam, aktris Kim Joo-ryung dan aktor senior Oh Young-soo yang brilian, membentuk kesatuan yang solid dan memiliki chemistry yang sangat kuat.
Penutup
Sebagai hiburan, Squid Game memang bukan untuk semua orang. Adegan kekerasan yang sangat grafik dan penuh darah mungkin membuat sebagian orang merasa nyeri dan takut. Akan tetapi, ide dan eksekusi yang disajikan memang sangat unik, walau tidak bisa dibilang original.
Dengan beberapa judul lain yang memiliki ide serupa, Squid Game menempatkan posisi mereka di tempat khusus yang memiliki ciri khas yang membuat mereka tetap istimewa di genre sejenis.
Squid Game seolah menjadi manifestasi dari potret kejamnya tekanan hidup dan penjajahan dalam bentuk kapitalisme dan memberikan penontonnya sebuah pemikiran, bahwa di bawah tekanan finansial yang begitu besar, manusia mungkin rela menukar jiwanya, demi sebuah solusi universal yang disebut kekayaan.
Squid Game adalah sentilan keras tentang kesenjangan sosial dan kerasnya hidup. Cuma kadar sentilannya sangat berdarah-darah. Pokoknya seru banget, gengs!